SUASANA RUANG MEJA MAKAN KELUARGA LAKSAMANA MAEDA!

Nama : Sandra Alifa Putri / XI MIPA 4



Dalam mengenang peristiwa proklamasi kemeredekaan Indonesia, masyarakat dapat mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi yang terletak di Jl Imam Bonjol No 1, Menteng, Jakarta Pusat. Berbagai figuran dan benda-benda asli dari rumah milik Laksamana Tadashi Maeda ketika perumusan naskah proklamasi dibuat.

Pada ruangan peruana museum, terdapat sejumlah figuran yang merupakan gambaran suasana Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Bung Soebardjo yang tengah menjalankan perumusan naskah proklamasi yang akan dibacakan pada tanggal 17 Augustus 1945. 

Ilustrasi Artefak pada gambar di atas:

Pada pukul 03:00 AM di hari proklamasi akan dibacakan, Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Soebardjo mulai menggunakan ruang makan keluarga milik Laksamana Maeda. Toko-tokoh ini duduk pada meja panjang yang tersedia di ruangan. Bung Karno berada di tengah dengan Bung Hatta di sebelah kanan dan Bung Soebardjo duduk di sebelah kirinya. Bung Karno menulliskan konsep naskah proklamasi mengenakan pulpen (seperti ilustrasi) dan kedua tokoh lainnya menyumbangkan pemikiran mereka secara lisan. Soekarno sebagai penulis konsep; Ahmad Subarjo memberikan pemikiran pada kalimat pertama teks proklamasi; sedangkan Moh Hatta pada kalimat kedua. Rumusan ini diambil dari rumusan Dokuritsu junbi chosakai.

Perumusan naskah proklamasi dilaksanakan sepulang peristiwa Rengasdengklok. Rengasdengklok adalah sebuah tempat tersembunyi, yang namanya begitu jarang menjelang diproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Lokasi ini adalah telah menjadi tempat yang sangat bersejarah, yakni tempat Soekarno dan Hatta diasingkan.

Latar belakang terjadinya Rengasdengklok antara lain perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua. Golongan muda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sedangkan golongan tua menganggap permintaan itu terlalu mendesak. Golongan tua khawatir akan terjadinya kerusuhan dan hal-hal yang tidak memungkinkan bila proklamasi didesak.

Oleh karena itu, golongan muda (Sukarni) memutuskan untuk mengasingkan Soekarno dan Hatta agar tidak terpengaruh oleh Jepang. Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945 mereka mengasingkan Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta ke Rengasdengklok.
Pada peristiwa Rengasdengklok, mereka kembali meyakinkan Soekarno dan Mohammad Hatta bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun resikonya hingga pada akhirnya Soekarno setuju untuk membacakan proklamasi pada tanggal 17 Augustus 1945. Ahmad Soebarjo, yang bersusah payah telah mencari lokaas pengasingan Soekarno-Hatta, akhirnya membawa pulang Soekarno dan Hatta untuk ikut siding 16 Agustus 1945.

Selama peristiwa Rengasdengklok, rapat PPKI pada tanggal 16 Agustus 1945 pada pukul 10:00 WIB tidak dapat dilaksanakan karena Soekarno dan Mohammad Hatta tidak muncul. Pada saat itu, peserta rapat tidak tahu bahwa Soekarno dan Hatta diasingkan ke Rengasdengklok.

Pada sidang tersebut, semua yang terlibat merundingkan kepastian Jepang menyerah dan merencanakan latar proklamasi, seperti tempat, waktu, dan lain-lain. Dari komunikasi antara Mohammad Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah sepenuhnya menyerah kepada Sekutu, dan memiliki wewenang untuk melakukan proklamasi kemerdekaan.

Setibanya kembali di Jakarta pukul 23:00 WIB, Soekarno-Hatta menemui Kepala Pemerintahan Umum (Sumobuco) Mayor Jendral Nishimura untuk menjajaki sikapnya tentang kemerdekaan Indonesia. Soekarno-Hatta ditemani oleh Laksamana Tadashi Maeda, Shigetada Nishijima, Tomegoro Yoshizuma, dan Miyoshi sebagai penerjemah. Pada kenyataannya, Nishimura menolak pelaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan alasan khawatir Jepang akan dipersalahkan oleh Sekutu.

Sikap penolakan Nishimura menyadarkan Soekarno-Hatta bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia memang harus diusahakan sendiri oleh bangsa Indonesia tanpa bantuan atau pemberian negara lain, termasuk Jepang. Dengan demikian, proklamasi kemerdekaan Indonesia harus lepas dari pengaruh Jepang.

Perjuangan bangsa Indonesia didukung oleh Laksamana Maeda, yakni seorang perwira Angkatan Laut Jepang. Beliau juga bersedia untuk meminjamkan rumahnya, walaupun beliau tidur di lantai tiga dan tidak terlibat perundingan. Kediaman Laksamana Maeda dianggap aman karena hak prerogative kekuasaan wilayah militer angkatan laut tidak dapat diganggu gugat oleh angkatan Darat. Oleh karena itu, kediaman Laksamana Maeda dijadikan “Museum Perumusan Naskah Proklamasi”.

Tokoh-tokoh yang hadir di kediaman Laksamana Maeda antara lain Bung Karno, Bung Hatta, Bung Subarjo, para anggota PPKI dan tokoh pemuda (Sukarni, Sayuti Melik, dsb). Bung Karno menyampaikan kalimat pertama yang berbunyi “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Kalimat Ahmad Subarjo kemudian disempurnakan dan dilengkapi oleh Drs. Mohammad Hatta dengan kalimat kedua yang berbunyi “hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.” Lalu,Sayuti Melik merupakan pengetik naskah proklamasi menggunakan mesin pengetik yang merupakan salah satu artefak Museum Perumusan Naskah Proklamasi.

Pada awalnya, rencana pembacaan proklamasi ingin dilaksanakan di lapangn IKADA (sekarang merupakan lapangan monas yang berhadapan Stasiun Gambir). Tetapi, rencana ini disangkal karena Jepang tidak menjamin keamanan di lapangan IKADA hingga akhirnya diputuskan di rumah Ir. Soekarno karena Soekarno bisa menjamin keamanan proklamasi dan beliau bisa melarang protester Jepang yang ingin terlibat. Alamat rumah Soekarno adalah jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.

Menjelang pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan, suasana di Jalan Pegangsaan Timur 56 cukup sibuk. Wakil Walikota, Soewirjo, memerintahkan kepada Mr. Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon dan beberapa pengeras suara. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk mempersiapkan satu tiang bendera. Karena situasi yang tegang, Suhud tidak ingat bahwa di depan rumah Soekarno itu, masih ada dua tiang bendera dari besi yang tidak digunakan. Malahan ia mencari sebatang bambu yang berada di belakang rumah. Bambu itu dibersihkan dan diberi tali. Lalu ditanam beberapa langkah saja dari teras rumah. Bendera yang dijahit dengan tangan oleh Nyonya Fatmawati Soekarno sudah disiapkan. Bentuk dan ukuran bendera itu tidak standar, karena kainnya berukuran tidak sempurna. Memang, kain itu awalnya tidak disiapkan untuk bendera.

Sementara itu, rakyat yang telah mengetahui akan dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan telah berkumpul. Rumah Soekarno telah dipadati oleh sejumlah massa pemuda dan rakyat yang berbaris teratur. Beberapa orang tampak gelisah, khawatir akan adanya pengacauan dari pihak Jepang. Matahari semakin tinggi, Proklamasi belum juga dimulai. Waktu itu Soekarno terserang sakit, malamnya panas dingin terus menerus dan baru tidur setelah selesai merumuskan teks Proklamasi. Para undangan telah banyak berdatangan, rakyat yang telah menunggu sejak pagi, mulai tidak sabar lagi. Mereka yang diliputi suasana tegang berkeinginan keras agar Proklamasi segera dilakukan. Para pemuda yang tidak sabar, mulai mendesak Bung Karno untuk segera membacakan teks Proklamasi. Namun, Bung Karno tidak mau membacakan teks Proklamasi tanpa kehadiran Mohammad Hatta. Lima menit sebelum acara dimulai, Mohammad Hatta datang dengan pakaian putih-putih dan langsung menuju kamar Soekarno. Sambil menyambut kedatangan Mohammad Hatta, Bung Karno bangkit dari tempat tidurnya, lalu berpakaian. Ia juga mengenakan stelan putih-putih. Kemudian keduanya menuju tempat upacara.

Faktanya, Indonesia sah berdiri pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan 18 dengan keadaan tidak punya wilayah, pengakuan, dan persyaratan suatu negara pada era sekarang.

Dalam ingatan Fatmawati, saat itu suaminya pulang ketika sudah menjelang subuh. Soekarno saat itu masuk kamar, dari wajahnya tampak lelah dan lesu. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi. Dokter Suharto kemudian kembali kedalam kamar Bung Karno dan terus menungguinya. Kira-kira pukul 09.30 Bung Karno bangun dan badannya sudah tidak panas lagi. Dokter Suharto kemudian berkata kepada Bung Karno bahwa saat itu sudah pukul setengah sepuluh, “sudah jam setengah sepuluh Mas, “kata dokter Suharto. Bung Karno segera turun dari tempat tidur sambil berkata, “minta Hatta segera datang.” Dokter Suharto kemudian segera keluar mencari dokter Muwardi karena ia tidak dapat segera dijumpai, kemudian pesan Bung Karno ia sampaikan kepada Latief  Hendraningrat, yang saat itu mengenakan seragam Opsir PETA. Ketika dokter Suharto kembali ke dalam kamar Bung Karno, ia melihat Bung Karno sudah berpakaian rapi didampingi Fatmawati. Dokter Suharto menggambarkan detik-detik menjelang Bung Karno bertemu dengan Hatta dan keluar dari kamarnya tersebut:
Bung Karno mengenakan Busana serba putih: celana putih dan kemeja putih dengan potongan yang disebut secara populer waktu itu sebagai “kemeja pemimpin”, lengan panjang, bersaku empat, dengan band di pinggang belakang. Bung Karno tampak tampan dan gagah, penuh percaya diri, serta dengan penampilan yang meyakinkan.


Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan.


Sandra Alifa Putri/ XI MIPA 4

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menelusuri Sejarah Kendaraan di Museum Angkut

Belajar dari Peninggalan Bom Bali I