Museum Polri: Menelusuri Sejarah Polisi Indonesia




Oleh: Rania Manayra A. / XI MIPA 4

Pada hari Minggu, tanggal 18 Februari 2018, saya berkesempatan untuk mengunjungi Museum Polri dengan tujuan menyelesaikan tugas Sejarah Indonesia. Museum ini terletak di Jalan Trunojoyo No. 3, RT.5/RW.2, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Untuk memasuki museum Polri, pengunjung tidak dikenakan biaya tiket, sehingga menjadikan museum ini tujuan liburan yang cocok bagi yang ingin menghemat uang.
Bangunan museum semi modern milik Kepolisian Negara Republik Indonesia ini terdiri dari tiga lantai dan bertema tahun 70-an dengan interior klasik modern. Di luar gedung museum terdapat tank, helicopter, serta sebuah patung. Ketika memasuki gedung museum Polri, pengunjung akan disambut oleh seorang staf yang akan meminta tanda identitas serta memberi kunci loker untuk menyimpan barang-barang pengunjung selama mengelilingi museum. Museum ini terbagi menjadi beberapa ruangan, yaitu ruang Koleksi & Peristiwa, ruang Sejarah, Hall of Fame, ruang Kepahlawanan, ruang Simbol dan Kesatuan, ruang Penegakan Hukum, dan Kids Corner. Pengunjung ditawarkan penelusuran sejarah kepolisian Negara Republik Indonesia dengan foto-foto serta penjelasan singkat yang menarik, sehingga tidak memberi kesan membosankan.
Setelah mengelilingi museum ini selama kurang lebih satu jam, saya mendapatkan wawasan mengenai Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Tiap koleksi dan artefak memiliki keunikannya masing-masing, dengan latar belakang berbeda-beda yang menarik dalam caranya sendiri. Namun, ada satu artefak yang membuat saya tertarik hingga berkemauan untuk menelusuri mengenainya lebih dalam. Artefak tersebut adalah Tank Panser M8.
Tank Panser M8 ini berada di depan gedung Museum Polri, dan menghadap ke arah Jalan Trunojoyo. Tank ini merupakan tank buatan Amerika Serikat, yang diproduksi pada tahun 1941 oleh Ford Motor Company. Tank ini memiliki panjang 4,904 meter, lebar 2,5 meter, serta tinggi 1,968 meter. Dengan berat sebesar 8 ton serta kapasitas awak kendaraan yaitu 4 orang, Panser M8 memiliki kecepatan maksimal 88 kilometer per jam di jalan raya, sedangkan saat melintasi medan off road berkecepatan 32 kilometer per jam. Panser M8 milik Polri merupakan versi standar, sehingga masih menggunakan mesin bensin jenis Hercules JXD dengan enam silinder dan kapasitas 5.244 cc. Tipe mesin ini juga digunakan oleh ranpur intai Scout Car M3A1. Dengan kapasitas bahan bakar sebanyak 11 liter, tank Panser M8 dapat menempuh jarak sejauh 563 km dengan tingkat konsumsi bahan bakarnya 10 kilometer per 3,7 liter.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, bahwa tank Panser M8 dioperasikan oleh empat orang awak dengan konfigurasi sepasang awak di depan yang berperan sebagai pengemudi serta pembantu pengemudi (co-driver). Sementara kedua awak lain berada di dalam kubah. Untuk melihat keluar, awak di kubah dapat menggunakan dua fasilitas yang sudah dilengkapi oleh Ford, yaitu celah intai (direct vision slot) dan sebuah protetoskop dengan kaca anti peluru.
Tentunya tank Panser M8 ini dilengkapi dengan senjata. Pada kubah Panser M8 terdapat meriam M6 dengan kaliber 37 mm. Meriam M6 ini dipasang sejajar dengan senapan mesin ringan M1919A4 dengan kaliber 0,30 inchi, atau 7,62 milimeter. Selain itu, terdapat juga senapan mesin ringan dengan kaliber 0,60 inchi, atau 12,7 milimeter. Kedua jenis senjata ini dioperasikan dengan cara menginjakkan kaki pada pedal. Namun, letak senapan mesin dapat diubah untuk keperluan bantuan tembakan pasukan infanteri. Dikarenakan tank Panser M8 yang dipamerkan di Museum Polri merupakan generasi pertama, kubah tank ini masih menggunakan system putar satu percepatan.
Satu hal menarik mengenai tank Panser M8 adalah kemampuan meriam M6 yang hanya membawa 16 butir peluru saja. Padahal, konfigurasi standar dari kubah Panser M8 adalah dapat membawa 80 butir peluru. Namun karena kewajiban ranpur untuk membawa dua radio komunikasi, maka terdapat modifikasi dalam hal amunisi. Jarak tembak meriam M6 dapat mencapai 11 meter dengan kecepatan luncur proyektil hingga 883 meter per detik. Sudut secara vertical memiliki range -10 derajat hingga 20 derajat.
 Meriam M6 termasuk unik karena dapat melepaskan tiga jenis amunisi yang berbeda, yaitu AP (Armour Piercing) M51B1/B2, HE (High Explosive) M63, serta canister M2. Amunisi Armour Piercing memiliki fungsi menembus baja pada tank. Amunisi ini terbuat dari baja padat yang memiliki kandungan karbon yang tinggi, sehingga meningkatkan kekerasan baja. Jika ditembakkan dengan benar, maka peluru ini dapat membunuh awak dalam tank musuh serta merusak mesin tank. Amunisi berikutnya yaitu amunisi High Explosive digunakan jika ingin menembakkan target dengan range yang lebih luas. Peluru ini dapat meledak begitu menghantam sasaran. Amunisi berjenis granat lontar ini efektif menyerang pasukan di lapangan terbuka ataupun tempat perlindungan ringan yang berjarak antara 40 hingga 400 meter.
Tank Panser M8 ini memiliki sejarah penggunaan yang cukup panjang. Salah satu penggunaannya adalah penggunaan pertamanya saat tahun 1952. Pada tahun ini, Panser M8 milik Polri digunakan untuk memperkuat Brimob Polri ketika pengepungan istana. Dengan adanya tank Panser M8, hal ini menunjukkan bahwa Polri dapat melakukan show of force juga.
Selain sebagai show of force, tank Panser M8 ini juga pernah digunakan pada tahun 1961 dalam menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Pemberontakan Di/TII sendiri adalah suatu usaha untuk mendirikan negara islam di Indonesia. Pemberontakan ini terjadi di berbagai daerah dengan pemimpin yang berbeda-beda, namun di Jawa Barat sendiri dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Kartosuwiryo membentuk Gerakan Darul Islam dan seluruh pasukannya dijadikan Tentara Islam Indonesia, dengan markas besar yang berdiri di Gunung Cepu. Akhirnya, pada tanggal 7 Agustus 1949, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo berhasil memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, atau dapat disingkat menjadi NII. Awalnya untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII dengan damai semula dilakukan pendekatan persuasive oleh pemerintah, seperti melalui musyarawah mufakat. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil apa pun. Sehingga, pada akhirnya pemerintah RI menempuh cara tegas dengan dilaksanakannnya operasi militer pada tahun 1960 yang disebut Operasi Pagar Betis di Gunung Geber. Pasukan Kartosuwiryo melemah setelah menghadapi serangan dari TNI tersebut. Kartosuwiryo pada akhirnya tertangkap di puncak Gunung Geber pada tanggal 4 Juli 1962 dan dijatuhkan hukuman mati.
Tidak lama kemudian, tank Panser M8 digunakan kembali pada tahun 1963 saat melaksanakan pengamanan peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung, dimana terjadi demonstarasi oleh mahasiswa anti komunis dan kerusuhan anti Tionghoa yang menyakiti sebagian kalangan mahasiswa dan warga Bandung. Peristiwa rasialis ini dilatarbelakangi oleh konflik antara kelompok yang beranggotakan mahasiswa etnis Tionghoa dengan kelompok non Tionghoa di Institut Teknologi Bandung, atau dapat disingkat menjadi ITB. Konflik ini dipicu oleh masalah sepele, yaitu memperebutkan tempat duduk ketika pergantian jam mata kuliah. Pada umumnya, kelompok yang terlebih dahulu dapat mendapatkan tempat duduk saat jam kuliah adalah kelompok mahasiswa Tionghoa yang memiliki keuntungan, yaitu sepeda motor. Hal ini menyebabkan rasa cemburu diantara kelompok mahasiswa non Tionghoa. Oleh karena itu, beberapa mahasiswa mengadakan beberapa konsolidasi untuk mengintimidasi mahasiswa Tionghoa di ITB. Konsolidasi yang awalnya hanya di ITB, tiba-tiba menjalar ke seluruh kota Bandung dengan sasaran warga Tionghoa, khususnya di kawasan Dago, Braga, Asia-Afrika, dan Jalan Otto Iskandardinata.  Saat itu, toko, rumah, dan property milik warga Tionghoa dihancurkan. Tidak hanya di Bandung, kerecokan ini merambat hingga ke kota-kota lain di Jawa Barat. Setelah beberapa lama, akhirnya Bung Karno menginstruksikan Jaksa Agung untuk menuntut para penggerak kekerasan dengan hukuman tinggi dalam peradilan.
Dua tahun kemudian, tank Panser M8 ini digunakan kembali pada tahun 1965 untuk menumpas pemberontakan G 30 S/PKI. Pemberontakan G 30 S/PKI ini menjadi sebuah peristiwa yang meninggalkan coretan hitam dalam sejarah Indonesia, ketika PKI melakukan pembantaian pada orang-orang yang berbeda pandangan politiknya. Gerakan 30 September/PKI adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada tanggal 30 September sampai awal 1 Oktober 1965 ketika tujuh perwira militer Indonesia dibunuh dalam usaha kudeta. Tujuh perwira militer Indonesia yang menjadi korban adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeparto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Brigadir Jenderal DI Pandjaitan, Brigadir Jenderal Sutoo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Pierre Tendean. Awalnya Jenderal Abdul Haris Nasution akan menjadi salah satu korbannya, namun ia berhasil lolos dari upaya penculikan. Sayangnya, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban. Pada akhirnya, operasi penumpasan G 30 S/PKI segera dilakukan, dan dengan berakhirnya Gerakan 30 September/DKI, berakhir juga gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kunjungan saya ke Museum Polri memberi saya suatu pelajaran yang tidak akan saya lupakan. Bahwa tanpa adanya Kepolisian Republik Indonesia, maka Indonesia yang sekarang kita ketahui, tidak akan pernah terbentuk. Para polisi merupakan orang-orang yang berjasa bagi negara kita karena tanpa ada mereka, tentunya Indonesia akan menjadi negara yang tidak beraturan dan tidak disiplin. Mereka menjalankan tugas sebagai penjaga perdamaian dan keteraturan warga. Lambang Polri yaitu Rasta Sewakottama yang berarti “abdi utama dari nusa dan bangsa” dapat dilihat dari etos kerja para polisi. Lalu, sebagai warga Republik Indonesia, terutama siswa, apa yang dapat kami lakukan untuk memberikan mereka apresiasi? Hal tersebut mudah. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan untuk memberi apresiasi kepada Polri sekaligus menjadi warga yang baik dan mematuhi peraturan, seperti tidak membuang sampah sembarangan serta tidak melakukan tawuran. Semoga Polri dapat terus berbakti bagi bangsa Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menelusuri Sejarah Kendaraan di Museum Angkut

SUASANA RUANG MEJA MAKAN KELUARGA LAKSAMANA MAEDA!

Belajar dari Peninggalan Bom Bali I