Mengintip Sejarah Padrão Sunda Kelapa


Museum Nasional atau Museum Gajah ialah museum yang terletak di Jl. Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Jakarta. Perlu diketahui bahwa museum ini merupakah salah satu museum terbesar dan tertua di Asia Tenggara. Beberapa orang menamai museum ini dengan sebutan Museum Gajah karena patung gajah yang terdapat di halaman depan museum ini. Ikon gajah itu sendiri merupakan pemberian Raja Chulalongkorn dari Thailand pada tahun 1871.

Sebelum memasuki Museum Nasional, Anda perlu membeli tiket masuk. Harga tiket masuk untuk pengunjung dewasa ialah Rp 5000. Sedangkan, harga tiket masuk untung pengunjung anak – anak (TK – SMA) ialah Rp 2000. Bagi Anda yang berkunjung dengan rombongan, Museum Nasional akan memberikan harga tiket masuk yang lebih murah lagi. Harga yang relatif murah menjadikan museum ini cocok dijadikan destinasi wisata bagi Anda yang ingin menghemat uang sembari menambah wawasan. Museum ini buka setiap hari, kecuali hari Senin dan hari besar nasional. Jam operasionalnya ialah jam 08.00 – 16.00 untuk hari Selasa – Jum’at dan 08.00 – 17.00 untuk hari Sabtu – Minggu.

Bangunan Museum Nasional dirancang dengan gaya Klasisisme, yang merupakan salah satu wujud pengaruh Eropa. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh pemerintah sebagai tanggapan atas perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Sayap baru ditambahkan pada tahun 1996 di sebelah utara gedung lama. Gedung ini disebut dengan Unit B atau Gedung Arca.

Museum Nasional merupakan “rumah” bagi banyak koleksi barang. Terdapat lebih dari 140.000 koleksi barang di Museum Nasional. Koleksi barang tersebut dapat dikategorikan kedalam 7 kategori yaitu koleksi Prasejarah, Arkeologi, Keramik, Numismatik & Heraldik, Sejarah, Etnografi, dan Geografi.

Pada hari Sabtu, tanggal 4 November 2017, penulis berkesempatan untuk mengunjungi Museum Nasional dengan tujuan menyelesaikan tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia. Setelah puas berkeliling, saya mendapatkan banyak wawasan mengenai sejarah Indonesia serta artefak – artefak prasejarah yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya. Tiap koleksi dan artefak memiliki keunikannya masing-masing, dengan latar belakang berbeda-beda yang menarik dalam caranya sendiri. Namun, ada satu benda yang membuat saya tertarik hingga berkemauan untuk menelusuri mengenainya lebih dalam. Benda itu ialah Padrão.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFXET2X7gkqmcLDhyphenhyphenlENsEWore9R7NKH4sOiidKqpEDnnszxHHhBZiwe6W_NSJLzniyVtYU-Kyr-3pIG_QKHrgzmFZnK19WGUP_VkdUM2O_SXxqMFcTDTH4Z8Z2IBT1jdiB8ghEDNn-9s/s320/IMG_0994.JPG

Padrão berasal dari bahasa Portugis (dibaca kira-kira "padraung", dengan bunyi "ng" lemah) adalah suatu batu prasasti berukuran besar yang bergambarkan lambang Kerajaan Portugis, yang didirikan oleh para penjelajah Portugis sebagai penanda wilayah Portugis selama masa penjelajahan atau penemuan dunia baru setelah adanya perjanjian Tordesilas dan Zaragosa. Beberapa penjelajah Portugis yang diketahui mendirikan Padrão di berbagai tempat di belahan dunia antara lain Bartolomeu Dias, Vasco da Gama, Enrique Leme, dan Diogo Cão. Padrão ini digunakan oleh para penjelajah Portugis ketika menemukan/menguasai wilayah baru atau mengadakan perjanjian dagang serta militer dengan penguasa lokal.

Nah, Padrão yang berada di Museum Nasional ialah Padrão Sunda Kelapa yang merupakan saksi bisu perjanjian antara Kerajaan Padjajaran dengan Kerajaan Portugis yang saat itu sudah menduduki Malaka, kejadian itu terjadi sekitar abad ke – 16. Berdasarkan informasi yang berada di Museum Nasional, Padrão ini memiliki tinggi kurang lebih 198 sentimeter dan lebar 67,5 sentimeter.

Konon, setelah menaklukkan pelabuhan dagang Malaka di Malaysia pada tahun 1511, Portugis berlayar lebih jauh lagi menuju ke kepulauan Indonesia. Pada tahun 1513 penjelajah Portugis di bawah pimpinan de Alvin tiba pertama kali di Sunda Kelapa dengan armada empat buah kapal.

Mereka datang untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan penduduk setempat terutama lada. Karena dari Malaka mereka mendengar kabar bahwa Sunda Kalapa merupakan pelabuhan lada yang utama di kawasan ini. Menurut catatan perjalanan penjelajah dunia Tome Pires dalam buku Suma Oriental-nya pada masa itu Sunda Kalapa merupakan pelabuhan yang sibuk namun diatur dengan baik. Waktu itu sunda kelapa masih dibawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran.

Kerajaan Padjajaran merupakan kerajaan Hindu terakhir yang berada di Pulau Jawa tepatnya berada di daerah Pakuan, Bogor. Ketika para penjelajah bangsa Portugis berlabuh di Sunda Kelapa untuk yang pertama kalinya, situasi politik dan keamanan Kerajaan Padjajaran sedang krisis.  Kerajaan Padjajaran sedang dibawah ancaman dua kesultanan Islam, yaitu Kesultanan Demak dan Cirebon, yang sedang melaksanakan ekspansi untuk perluasan pengaruh dan penyebaran agama Islam.

Pada awal abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan perdagangan penting di pantai utara Pulau Jawa sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten, termasuk Banten dan Cirebon. Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama kerajaannya itu. Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun 1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun benteng di Sunda Kelapa.

Perjanjian tersebut merupakan perjanjian perdagangan dan militer. Namun karena kunjungan armada penjelajah bangsa Portugis sangat singkat pihak Portugis tidak menaggapi inisiatif tersebut, namun pihak kerajaan Portugis berjanji akan kembali ke Sunda Kelapa.

Beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1522 armada kerajaan Portugis tiba kembali dipelabuhan Sunda Kelapa. Armada Portugis datang dibawah pimpinan Enrique Leme atas perintah Gubernur Alfonso Albuqeurque yang berkedudukan di Malaka. Ia dating dengan membawa hadiah untuk Raja Pajajaran pada waktu itu, yaitu Prabu Samian atau Sang Hyang Surawisesa yang telah naik tahta menggantikan ayahandanya.

Portugis melihat posisi Sunda Kalapa strategis sebagai pelabuhan dagang dan tempat transit bagi kapal-kapal dagang Portugis. Melihat potensi tersebut, Portugis menerima inisiatif Padjajaran untuk mengadakan perjanjian untuk mendirikan benteng militer dan pos/kantor dagang. Sebagai imbalannya Portugis akan membantu Padjajaran apabila Kesultanan Demak dan Cirebon menyerang Padjajaran.  Maka, Pada tanggal 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian dagang dan militer antara Portugis dan Kerajaan Sunda Pajajaran. Perjanjian tersebut diabadikan pada prasasti batu yang disebut Padrão. 

Isi dari perjanjian yang diadakan Portugis dan Kerajaan Padjajaran kurang lebih seperti berikut:
1.         Portugis diijinkan mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
2.         Padjajaran akan menerima baran – barang yang di butuhkan dari Portugis termasuk senjata.
3.         Portugis akan memperoleh lada dari Pajajaran sesuai kebutuhannya,

Aksara yang digunakan dalam perjanjian tersebut adalah aksara Gothik dan berbahasa Portugis. Padrão didirikan di atas tanah yang ditunjuk sebagai tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis. Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty, e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah “Yang Dipertuan Tumenggung, Sang Adipati, Bendahara dan Syahbandar Sunda Kelapa”. Saksi dari pihak Portugis, seperti dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan orang. Saksi dari Kerajaan Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui “selamatan”.

Setelah penandatangan perjanjian, pihak Portugis menancapkan Padrão di tepi Pantai Sunda Kelapa tepatnya saat ini berada di Jalan Cengkeh.  Secara spesifik Pada batu tersebut di bagian atas tampak armillary sphere atau rangka bola dunia dengan khatulistiwa dan lima garis lintang. Paling atas tampak lambang tiga daun, yakni Trifoil. Terdapat pula empat garis inskripsi yaitu: Pertama,  Salib Ordo Christus (yang termasyhur di Portugal sebagai penerus Ordo Tempel dari Yerussalem di wilayah kuasa raja Portugis itu, terlihat di sebelah kiri di atas huruf O atau D). Kedua, DSPOR yang berarti D.S.POR. (singkatan dari Do Senhario de PORtugal, artinya "Penguasa (=Tuan) atas Portugal"). Ketiga, ESFER a/Mo yakni Esfera do Mundo (artinya "Kawasan Dunia" atau Espera do Mundo artinya "Harapan dunia"). Keempat,  mungkin masih ada salib lagi seperti baris pertama, tetapi kurangjelas. Pada sisi kiri bagian atas tampak suatu salib yang kabur dalam bentuk seperti Salib Ordo S. Joanes.

Dengan perjanjian tersebut Portugis berhak membangun pos dagang dan benteng di Sunda Kalapa. Namun oleh kesultnan Demak perjanjian tersebut dianggap provokasi, lalu memerintahkan Fatahillah atau Falateham memimpin serangan tentara gabungan Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten untuk menkalukan kerajaan Padjajaran dan merebut Sunda Kelapa.

Pada tahun 1527 saat armada kapal Portugis kembali di bawah pimpinan Francesco de Sa dengan persiapan untuk membangun benteng di Sunda Kalapa, ternyata gabungan kekuatan kerajaan Islam Sultan Banten yang dibantu oleh bala tentara kerajaan Islam Demak dan Cirebon berjumlah 1.452 prajurit di bawah pimpinan Fatahillah, sudah menguasai kerajaan Padjajaran dan Sunda Kelapa sehingga pihak Portugis gagal membangun benteng dan pos dagang, itu artinya isi perjanjian Sunda Kelapa belum sempat di tindaklanjuti.

Peristiwa ditaklukannya kerajaan Padjajaran, direbutnya Sunda Kelapa, dan diusirnya pasukan Portugis dari Sunda Kelapa diperingati dengan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti “kemenanagan yang nyata”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, oleh karena itu setia tanggal 22 Juni diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.

Padrão Sunda Kelapa, atau dinamakan juga “Prasasti Sunda Kelapa”, ditemukan kembali pada tahun 1918, ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gudang/rumah di sudut Prinsenstraat yang sekarang bernama Jalan Cengkeh dan Groenestraat yang sekarang bernama Jalan Kali Besar Timur, Sunda Kelapa, Jakarta. Padrão tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional, sedangkan yang dipamerkan di Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah hanyalah replikanya saja.


Oleh: Thariq Razan / XI MIPA 4

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menelusuri Sejarah Kendaraan di Museum Angkut

SUASANA RUANG MEJA MAKAN KELUARGA LAKSAMANA MAEDA!

Belajar dari Peninggalan Bom Bali I